Minggu, 30 Maret 2008

Puisi Untuk Tuhan

Puisi Untuk Tuhan

Dan kuhirup aroma langit mulai mendekat

Merayap seakan ingin menjabat jalaran rindu

Ada kata dan berita yang mendekati sukma

Hanya saja bak pelita yang belum berpijar

Dan kurasa senyum itu kini menjadi bunga

Walau terkadang langka

Namun menyapa ia bak nyata

Benarkah

Senyum itu tiba

Seperti hadirnya anugerah-Mu

Menggelembung indah di hatiku

Untuk Allah, yang selalu mencintaiku, biarkan aku tetap tersenyum

20:14

17 Maret 2008

Elegi Sendiri

Elegi Sendiri

Lama aku terdampar di pasir tak berbentuk. Mencari bongkahan spora yang tak juga terjala. Aku memang melumuri jiwaku dengan harapan dan do’a. Karena aku ingin menari bersama ombak.

Lama tak ku ciumi harum bumi. Di lorong sepi, lagi-lagi ku menulis resensi jiwa. Kuselingi dengan menatap bintang. Sepertinya ia memang memberi harapan. Walau kurasa kasih sayangnya seperti ibu tiri.

Biasanya di satu waktu, mulai menjalar rasa sepi memenuhi nadi. Entah. Yang pasti rasa itu tak bernama. Menjalar hanya merusak syaraf ketenangan. Melulu ia datang menantang jiwa yang kalut. Mungkin ini rasa yang terlalu stigma buat diungkapkan. Benarkah semua elegi ini hanya sebuah animo. Hal yang terlau lazim menyeruak. Terutama di kala senja benar-benar sungguh kembali.

08022008

‘Ash-Shamad’

Ash-Shamad’,

Kado Terakhirku

Untukmu

Oleh: Suci Handayani

Aku memang mempunyai kenangan terdalam dengan lafaz ash-shamad, salah satu asma’ul husna yang artinya “Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu”. Tepatnya, karena aku pernah membisikkan lafaz ini pada kakakku yang saat itu harus tebaring lemah di rumah sakit.

Saat itu aku memang khawatir dengan kondisi kakakku yang kian lemah. Wajahnya membengkak, sudah terhitung tiga minggu ia tidak bisa makan dan minum. Karena mulutnya terkatup, ia divonis menderita banyak penyakit, lalu ia pun harus menjalani bedah mulut.

Kini ia terkulai lemas, karena lehernya yang dulu kokoh, sekarang harus digypsum. Ada tiga lubang besar akibat hasil operasi, yang mungkin ia rasa, ia baru saja ‘digorok’(istilah yang sebenarnya menyedihkan).

“Terus saja baca ash-shamad, A”! Pintaku, karena aku yakin, dengan kondisi lemah, tapi, kalau ia memohon agar Allah memberi kekuatan, maka kekuatan itu dengan seizin-Nya akan datang. Tuhan yang setiap sesuatu bergantung kepada-Nya itu, bisa menguatkan jasadnya yang lemah.

Karena kita memang tak layak dan tak bisa bergantung kepada selain-Nya. Ah, semoga kakakku terus melafazkan Ash-Shamad itu, sambil terus berharap bahwa Allah akan menguatkannya.

Beranjak hari, aku mendengar tangis ayahku, sambil mengabarkan, bahwa kakakku telah pergi. Aku menunduk panjang, aku menyesal. Karena aku belum sempat meminta maaf padanya. Namun, ada sedikit rasa tak terlalu kecewa ketika harus mendengar bahwa ia menghembuskan nafasnya. Karena, setidaknya aku pernah berbagi pesan yang bermakna dengannya, tentang sesuatu yang memang seharusnya ia ucapkan, asma Allah itu, “ash-shamad”. Semoga menjadi kado terindah yang pernah aku selipkan di sanubarinya.

Aku benar-benar lebih terharu ketika kudengar, bahwa wajah kakakku tercinta, begitu berseri saat jasadnya akan dibalut kain mutlak, yang bernama ‘kafan’.

Hanya satu lagi sesal terdalamku, selama ku hadir di dunia, dan aku tercipta sebagai adiknya, sedikit sekali aku mencoba bertukar kata dengannya. Maafkan aku, bro….

Ah, bro… Betapa aku merindukanmu. Hingga kini, kau masih hidup di hatiku. Aku yakin, Allah akan menempatkanmu di tempat yang terhormat. Tempat terindah yang belum aku lihat, tempat yang sejuk, yang dirindukan semua hamba, tempat kebahagiaan, dimana orang-orang shalih akan berkumpul dan bercengkrama bersama para nabi. Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa ‘aafihi, wa’fu ‘anhu. Amien

Hujan

HUJAN

Oleh: Suci Handayani

Makhluk yang bernama hujan itu kini mengguyur lagi marcapada. Ia menumpahkan kerinduannya ke pori-pori bumi. Ia memang karunia terhebat. Karena ia rizki yang datang langsung dari langit, tanpa satu makelar pun.

Malang, terkadang manusia mengeluh dan merutuki kedatangan sang hujan, terutama bila ia benar-benar datang di saat manusia ingin berpesta pora. Lalu mereka terkadang merutuk dan mengamuk. Bukankah secara tidak langsung, mereka telah merutuki Sang Pencipta hujan?

Padahal Allah dengan bangga telah mengabadikan eksistensi dan manfaat hujan dalam bait-bait suci-Nya:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepada-Mu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air hujan dari langit. Lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya.” (Ar-Ruum: 24)

Sejatinya kita sadar, bahwa kita tak layak merutukiNya. Karena semua ciptaan-Nya tak akan tersia. Ada rahasia yang tak bisa kita tahu. Kita hanya bisa merasakan akibat rahasia-Nya itu. Ya, Dia menjadikan banyak hal yang mulanya kita rasa hal itu tak berarti. Seandainya Dia membalas mengutuk kita, lalu apa jadinya kita?

Padahal, ada resonansi kalam-Nya yang menyinggung tentang hal ini:

Siapa saja yang dikutuki Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya.” (An-Nisaa’:52)

Jika Dia benar-benar mengutuk kita, lalu kepada siapa kita memohon pertolongan? Padahal setiap hari, kita menggantungkan hidup kita kepada-Nya.

Hujan memang senandung Tuhan, ia ada karena Ia ada. Hujan ada karena ia ingin menyampaikan kekuasaan Allah lewat gemerincik tetesan molekul air, yang tak pernah ada seorang makhluk pun yang bisa membuatnya. Air untuk menghidupi manusia, agar mereka terus berkembang, bergeliat menapaki kehidupan yang terkadang bernuansa nisbi, yang sengaja diciptakan berwarna oleh Sang Pencipta, untuk menyeleksi hamba-hamba yang unggul dalam mengampu tugas dari Allah.