Minggu, 23 September 2007

Kita Adalah Spiteng Berjalan Jika Kita Tidak Berkarya

“Kita Adalah Spiteng Berjalan, Jika Kita Tidak Berkarya

By: SuHadA

Bulu kuduk saya langsung menciut mendengar kiasan diatas –ungkapan yang diutarakan Opick pada malam Refleksi Kebangkitan, yang diselenggarakan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 31 Mei 2007. Saya yang kebetulan berada tak jauh dari panggung serta merta merasa kerdil.

Mengapa harus spiteng? Usik hati saya, padahal spiteng adalah tempat terakhir seluruh hasil buangan yang dikeluarkan manusia. Bahkan aromanya pun tak layak untuk dihirup. Saya yakin, tak seorangpun tertarik dengan isi dari sebuah spiteng. Ironis sekali kalau kita rela disamakan dengan sebuah spiteng!

Tapi tak bisa dibantah, statement itu tidak semata-mata terucap, kecuali sebagai bukti dari seseorang yang peduli akan produktivitas manusia selama ia eksis didunia. Statement seperti ini mungkin sekali-kali perlu dimunculkan untuk menyadarkan siapapun yang mungkin masih berkutat dengan urusan perut semata.

Idealnya, kita jangan hanya menjadi spiteng --sebagai tempat sisa-sisa makanan yang kita konsumsi-- tanpa ada ‘syahwat’ untuk mau mengaktualisasikan tenaga yang dihasilkan oleh makanan kita kedalam bentuk syukur, berupa kerja nyata. Tentu kita tahu, bahwa ada tugas lain yang harus kita toreh, selain hanya memanjakan perut kita. Ya… beramal, berkarya, berprestasi, dan ber-ber yang lainnya.

Sejatinya lagi, kita mesti menjadi muslim yang kuat, sebagai pengaruh dari makanan halal dan bergizi yang kita makan. Lebih istimewa, kalau makanan itu hasil tangan kita, dan lebih sempurna kalau kita mau memberi. Jika kita tidak mampu memberi, minimal kita sudah bersedekah pada perut kita. Tanpa bergantung pada orang lain. Yang paling sederhana, kita jangan sampai berbuat buruk, kalau tidak mampu untuk berderma.

Oke, mari kita tengok bunyi hadis dibawah ini sebagai paradigma:

Setiap muslim wajib sedekah. Jika tak mampu? Bekerja mandiri dan bermanfaat bagi dirinya. Jika tak mampu? Menolong orang yang perlu dibantu. Jika tak mampu? Tak berbuat buruk.” -Al-Kanz 16307-

Saya jadi berpikir, kalau memang kita lumpuh untuk berkarya, paling tidak kita jangan sampai merugikan diri kita dan orang lain. Namun, bukan berarti kita boleh tidak berkarya, kan? Wallahu a’lamu. (Lagi lagi… Saya hanya bergumam pada diri sendiri).

Catatan: Thanks buat seseorang (Teh Zizah) yang sudah mengirim hadis diatas via SMS. “Kita memang harus survive, Kak!”. (Alone in the Cost, 010607).

Tidak ada komentar: