Sabtu, 08 Desember 2007

Oleh-oleh Dari DKJ

Oleh-oleh Dari DKJ

Oleh: Suci Handayani

Aku akan terus menulis puisi

Karena Tuhanpun tak pernah berhenti melukis

Hingga ketika pagi kuterbangun

Kusaksikan puisi dan lukisan Tuhan, kian indah.

Puisi di atas memang celoteh intuisi penulis, setelah ia pulang dari TIM (Taman Ismail Marzuki), untuk menghadiri Malam Anugerah Sayembara Kritik Sastra, yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun ini. Makanya, ia bersyukur sekali, ketika kedua temannya, Rina dan Khodijah, rela menemaninya ke TIM, walau dengan kondisi Kota Harapan (Jakarta) yang padat dan tak merayap. Serta langitnya pun kian gulita, tapi, kedua sahabatnya itu, tetap setia menemani penulis.

Penulis menelusuri lembar-lembar bunga rampai pemenang sayembara kritik sastra, yang judulnya ‘Tamsil Zaman Citra’ -- diambil dari judul kritik sastra pemenang pertama, karya Arif Bagus Prasetyo -- pemberian ‘crew’ Dewan Kesenian Jakarta.

Namun ia ternyata hanya benar-benar jatuh cinta pada tulisan Bandung Mawardi, yang judulnya: Humor Yang Puitis, Humor Yang Tragis (Mengingat Yudhis, Menikmati Jokpin). Hal yang membuatnya tiba-tiba jatuh cinta, entah karena dalam tulisan Bandung Mawardi, diawali dengan tulisan:

Jika nanti aku tamat, kibarkan celanaku

Yang dulu hilang diatas makamku

(Joko Pinurbo, “Sukabumi”, 2007)

Yang tentu saja Sukabumi, adalah kota kelahirannya. Tapi, terlepas dari itu semua, ia memang salut dengan uraian cerdas Bandung Mawardi, yang berhasil menelanjangi puisi-puisi Joko Pinurbo dengan sempurna. Dari uraian Bandung Mawardi, seakan ia terhadiahkan cambuk-cambuk lembut, agar ia terus setia dengan sastra, terutama puisi.

Bandung Mawardi, menurutnya, telah berhasil melenakan pembaca agar mereka terus mendengar kata-kata-nya. Bandung Mawardi, yang ternyata redaktur dan pendiri buletin sastra Pawon (Solo), memang layak menjadi salah satu kritikus sastra Indonesia terbaik tahun ini. Bandung Mawardi menyadarkan setiap pembaca akan pentingnya makna kata, yang perlu disampaikan kepada publik, walau ia hanya berselubung puisi.

Karena, setiap kata yang kita sampaikan kepada orang lain, akan menjadi kaya dengan berbagai persepsi. Berbahagialah jika kata-kata itu bisa mempengaruhi orang, hingga mereka tedorong untuk berbuat kebaikan. Seperti tutur Mario Teguh, dalam Mario Teguh Open Forum, ia mengatakan bahwa: “Jadilah orang yang berpengaruh untuk mempengaruhkan kebaikan”.

Salut buat Bandung Mawardi, yang telah mengupas puisi-puisi Joko Pinurbo, yang sarat renungan. Puisi di bawah ini, cukup memancing penulis untuk berkontemplasi, hingga akhirnya penulis tersadar, bahwa ia memang harus setuju dengan puisi Joko Pinurbo di bawah ini:

Apa salahnya, sesekali kita berlupa

Sesekali kita kembali pada bocah manja

Tidak tahu bencana yang bakal tiba

Tidak sempat berpikir tentang dosa

Selamat buat para kritikus-kritikus sastra Indonesia terbaik tahun ini!

Dan jangan berputus asa untuk para peserta yang belum beruntung. Tetap tajamkan intuisi dan penamu…! Demi Tuhan, itu ‘kan bermakna.

Daarunnisaa, 08122007

Kamis, 06 Desember 2007

Nyanyian Hujan

Nyanyian Hujan

Oleh: SuciHandayani

Oh hujan

Jangan kau bernyanyi terlalu sumbang

Hingga kau buat pohon-pohon menjadi tumbang

Banyak anak manusia yang terkubang

Melaut bersama deras air empang

Oh hujan

Tetaplah bernyanyi

Karena itu kurindukan

Untuk menembusi pori-pori jiwaku yang haus senandung Tuhan

Jangan kau labuhkan bala‘

Jangan kau tenggelamkan anak negeri dengan murka

Bila kau mau…

Bernyanyilah merajuk lumpur lapindo

Lalu bawa ia merebah ke samudera

Agar ia tak kembali tenggelamkan desa

Oh hujan aku rindu engkau…

Karena engkau dari Tuhan

Wahai orang yang sedang membaca hujan

Tak perlu kaueja rintiknya

Hanya dengar saja gemerincik nada yang ia sampaikan

Karena ia sampaikan rahmat Tuhan

Lewat percikan indah-Nya

Ciputat, 15 November 2007